Kamis, 12 Mei 2011

Belajar Migas dari Madura



Pusat pengeboran minyak dan gas di lepas pantai perairan Madura, Rabu, 27 April 2011. (Tempo/Fully Syafi)

Kalau tanah Madura banyak yang tandus, kawasan seputar pulau Madura justru subur. Kawasan ini kaya akan minyak dan gas bumi. Tak heran, banyak blok migas di daerah ini.

Di kawasan Kepuluan Kangean, ada Kangean Energy Indonesia yang tengah mengusahakan migas. Ada juga perusahaan dari Australia, Santos, yang ikut mengebor gas bumi di sekitar perairan Sampang, Madura.

Dan yang lagi ramai dibicarakan orang, ladang migas di Madura Barat (West Madura Offshore — WMO), yang memiliki cadangan sekitar 22 juta barel. Seperti halnya kekayaan alam lainnya, kekayaan migas di kawasan Madura tentu harus dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Negara bisa meminta perusahaan negara untuk membantu mengusahakan kekayaan tersebut. Jika perusahaan negara belum mampu, mereka bisa menggandeng swasta. Itulah yang terjadi pada 7 Mei 1981, tatkala Pertamina menggandeng perusahaan asal Korea Selatan, Kodeco dan CNOOC dari Cina untuk mengelola WMO.

Pertamina mendapat saham 50 persen, Kodeco dan CNOOC masing-masing 25 persen. Kodeco menjadi operator di blok ini, sedangkan Pertamina hanya pemegang saham. Kontrak itu berakhir 6 Mei 2011 lalu.

Tetapi sebelum kontrak itu habis, terjadi gonjang-ganjing. Kodeco mengalihkan separuh sahamnya ke PT Sinergindo Citra Harapan. Begitu pun CNOOC, yang menyerahkan setengah saham ke Pure Link Investment Ltd. Akibatnya, komposisi kepemilikan pun berubah menjadi Pertamina 50 persen, sementara Kodeco, CNOOC, Sinergindo, dan Pure Link masing-masing 12,5 persen.

Pengalihan saham itu jadi pertanyaan, sebab Pertamina sudah lima kali mengirim surat kepada kementerian energi supaya diberikan 100 persen saham Blok WMO. Orang pun curiga ada pihak-pihak yang tengah memburu rente.

Jika berpihak pada negara, pemerintah semestinya meluluskan permintaan Pertamina, karena kemampuan perusahaan itu tidak seperti 30 tahun lalu. Di Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang sebelumnya dikuasai BP misalnya, Pertamina berhasil meningkatkan produksi dari 21 ribu barel per hari (bph) menjadi 30 ribu bph.

Di Blok Limau yang sebelumnya dikelola Talisman, produksi meningkat dari 6.000 bph menjadi 11.300 bph.

Di Blok Sanga-sanga Tarakan yang sebelumnya dikelola Medco, produksi meningkat dari 4.300 bph menjadi 7.500 bph.

Pertamina pun menjadi satu-satunya perusahaan minyak di Indonesia yang berhasil meningkatkan produksinya dalam lima tahun terakhir. Pada 2010 produksi Pertamina mencapai 190,7 ribu bph minyak dan 1.458 juta kaki kubik gas per hari atau ekuivalen 443,5 ribu.

Dengan kemampuan itu, Pertamina berani menargetkan produksi menjadi 30 ribu barel per hari, dari 21 ribu barel per hari di Blok WMO.

Karena desakan yang kuat, akhirnya pemerintah pun memberikan hak pengelolaan ke Pertamina, meski Kodeco tetap bercokol sebagai pemegang saham 20 persen. Sedangkan CNOOC telah mengundurkan diri.

Dalam kasus Blok WMO ini, boleh dikatakan pengawasan masyarakat dan konsistensi Pertamina cukup membuahkan hasil. Desakan semacam ini juga perlu terus dilakukan, agar kekayaan alam Indonesia benar-benar bermanfaat bagi kemakmuran rakyat.

Kini adalah giliran Pertamina untuk menunjukkan kemampuannya.

Thonthowi Djauhari memulai pengalaman jurnalistiknya sejak 1996. Ia pernah bertugas di Republika, Tempo, dan kini menjabat deputi redaktur pelaksana harian Jurnal Nasional. Ia mengikuti isu-isu energi dan sumber daya mineral.

Tidak ada komentar: